Senin, 27 Agustus 2007

Dana Minim, Unggul di TI

SMA Plus PGRI Cibinong (2-habis)
Dana Minim, Unggul di TI

Sekolah PGRI identik dengan sekolah pinggiran, miskin fasilitas, gedungnya menumpang, dan ajang guru-guru mencari penghasilan tambahan. Tidak heran bila banyak orang ribut ketika SMA PGRI Cibinong di Jawa Barat menyatakan dirinya sebagai SMA Plus.

Siapa menyangka ada sekolah yang menjanjikan di pinggir jalan sempit di tengah kampung, bahkan mulut jalannya pun tersembunyi di pinggiran rel kereta api?

SMA Plus PGRI Cibinong tidak hanya berbeda dengan sekolah PGRI lain, tetapi juga berbeda dibandingkan sekolah-sekolah lain pada umumnya. Secara fisik gedung SMA Plus PGRI tergolong lengkap dan bagus. Ruang gurunya mewah. Perabotnya pesanan khusus dan langit-langitnya tinggi menjulang, tidak ubahnya ruang sidang para guru besar. Akan tetapi, bukan hanya itu yang membuat sekolah tersebut berbeda.

Anggaran terbatas juga tidak menghalanginya membangun pendidikan yang akrab dengan kemajuan teknologi komunikasi informasi alias ICT. Dari sekolah di tengah kampung itu kini mulai dirintis perkampungan ICT di Kabupaten Bogor yang dikembangkan atas inisiatif masyarakat bawah.

Tidak ada yang menyangka SMA PGRI Plus Cibinong bisa berkembang seperti sekarang. Ketika Basyarudin Thayib ditunjuk menjadi kepala sekolah pada 1982, sekolah itu hanya memiliki sekitar 200 siswa. Gedungnya menumpang di SMA Negeri 1 Cibinong. Bahkan papan tulis pun pinjaman.

Dengan menyisihkan uang yang dibayarkan muridnya, sekolah itu membeli sebidang tanah di tengah padang alang- alang yang kini telah menjadi perkampungan. Dan, ketika sekolah itu diusir dari tempat mereka menumpang di SMA Negeri 1 Cibinong, hanya setengah tahun saja murid-muridnya terpaksa menumpang belajar di gedung SD Inpres. Pada 1985, gedung pertama SMA PGRI Cibinong dibangun dengan dana pinjaman. Sejak itu pembangunan fisik tidak pernah berhenti.

Setelah fisik tertata, sekolah itu mengubah pola pembelajarannya. Sejak 2002, SMA PGRI Cibinong memberlakukan metode pembelajaran kuantum, pembelajaran yang menyenangkan dan menempatkan murid sebagai pusat dalam proses pembelajaran. Siswa diberi ruang bebas berekspresi, diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat seluas-luasnya, dan ceramah guru dibatasi.

"Mengubah guru bukan perkara yang gampang. Tiga bulan pertama kami menghadapi tantangan yang luar biasa," kata Basyarudin.

Ruang kelas yang kaku tidak ada lagi. Dinding-dinding kelas dilukis dengan gambar-gambar pemandangan. Bangku dan meja kursi biasa digeser ke sana kemari untuk diskusi. Bangku- bangku beton di bawah pepohonan pun menjadi tempat belajar. Bahkan kantin sekolah juga sering dipakai untuk belajar dan diskusi kelompok.

Teknologi informasi

Perubahan itu menjadi semakin berarti ketika Basyarudin berkenalan dengan Suparno Midi (46), seorang otodidak dalam bidang komputer, yang sebelumnya giat merekrut anak-anak muda belajar komputer tanpa bayaran. Sejak itulah SMA PGRI Cibinong mulai membuat program pembelajaran komputer dan membangun departemen teknologi informasi. Di sekolah itu murid tidak hanya diperkenalkan dengan komputer sebagai sarana pembelajaran tetapi diajak mengenal teknologi informasi (TI) itu dari dekat.

Saat pekan orientasi siswa baru, misalnya, seluruh siswa dibimbing oleh kakak kelasnya membongkar dan memasang komputer. Berkat keahlian sekelompok anak dalam komputer, sekolah itu tidak perlu mengeluarkan dana yang banyak untuk pengadaan fasilitas TI. Biaya pemeliharaan pun mendekati nol.

Secara kasat mata belum terlihat kehebatan SMA Plus PGRI Cibinong dalam teknologi informasi komunikasi. Sebuah gedung yang khusus untuk pengembangan teknologi informasi masih dalam tahap penyelesaiannya. Di laboratorium komputer hanya tersedia 25 komputer yang dipergunakan bergantian untuk melayani tidak kurang 1.519 murid. Jumlah itu masih jauh dari memadai untuk pembelajaran berbasis teknologi informasi komunikasi. Namun, di balik keterbatasan itu, ada potensi yang begitu besar untuk muncul menjadi sekolah perintis dalam penguasaan dan pembelajaran yang akrab teknologi informasi komunikasi.

"Kami memang tidak ingin memanjakan anak dengan alat. Kami tidak punya banyak uang itu. Kalau ingin memiliki lebih banyak komputer, anak-anak harus bisa merakitnya sendiri," kata Basyarudin Thayib.

Murid-murid SMA Plus PGRI Cibinong memang tak hanya diajari bagaimana menggunakan komputer, tapi juga diperkenalkan dengan seni bongkar pasang dan kemandirian dalam mengembangkan dan memelihara komputer. Selain diwadahi dalam kegiatan ekstrakurikuler komputer, sekolah itu juga merekrut sejumlah anak dalam kelompok pembinaan khusus—biasa mereka sebut "Kopasus"—untuk dididik menjadi tenaga terampil dalam bidang komputer.

Kelompok ini terdiri atas 45 anak. Setiap komputer yang ada di sekolah itu ada penanggung jawabnya. Bila ada kerusakan atau masalah, anak itu yang harus menanganinya. Sistem ini membuat biaya pemeliharaan komputer mendekati nol.

"Mereka juga yang merakit komputer pentium 4 yang dipergunakan di lab," kata Suparno, yang diangkat menjadi Deputi Direktur Departemen Teknologi Informasi SMA Plus PGRI Cibinong.

Anak-anak yang tergabung dalam Kopasus kini sedang diupayakan agar menjelang kelulusan dapat mengikuti sertifikasi keahlian komputer setingkat D1. Sebagian dari mereka kini bisa mencari tambahan uang saku dengan keahlian yang dimiliki.

Fauzi (16), menceritakan pernah ia kedatangan tetangganya seorang mahasiswa komputer yang akan membuat skripsi. Fauzi bahkan mengajari mahasiswa itu, yang kesulitan membuka koneksi situs web yang dibuatnya.

"Sering saya dimintai tolong memformat ulang, membersihkan virus, atau lainnya. Ada yang ngasih uang saku, tapi ada juga yang cuma bilang terima kasih," kata Fery (16), siswa lainnya.

Dengan potensi yang dimiliki, SMA Plus PGRI Cibinong kini mencoba menularkan perubahan ke luar. Sekolah itu telah menjalin kerja sama dengan Departemen Agama Kabupaten Cibinong untuk mengembangkan teknologi informasi di pesantren-pesantren di wilayah itu. Mereka tidak hanya menawarkan jasa dan produk fabrikasi yang dihasilkannya, tetapi juga mengajarkan menularkan kemandirian dalam berteknologi.

"Kami tidak mau tenggelam dalam mitos-mitos bahwa sekolah PGRI hanyalah sekolah pinggiran, gedungnya numpang, dan lain sebagainya. Sekarang banyak sekolah silih berganti berkunjung ke sini. Kami ingin kemajuan yang kami capai bukan untuk sekolah ini saja. Sayangnya, justru masih jarang sekolah PGRI yang datang ke sini," kata Basyarudin Thayib.

Tidak ada komentar: